Sabtu, 15 November 2014

TUGAS SOFTSKILL MINGGU KE 2

Jurnal Etika Profesi Akuntansi Terhadap Kemajuan Perusahaan
KELOMPOK SAILORMOON:
-      ROSELINA ADE ELFANNY (26211463)
- DHYAN DWI DESYANTI PUTRI (22211003)
KELAS       : 4EB13

Jurnal Etika Profesi Akuntansi Terhadap Kemajuan Perusahaan
Pengaruh Profesionalisme, Pengetahuan Mendeteksi Kekeliruan, dan Etika Profesi Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas Akuntan Publik
ABSTRAK
Untuk mempertahankan kepercayaan dari klien dan para pemakai laporan keuangan, akuntan publik dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai. Adapun kompetensi tersebut adalah profesionalisme, pengetahuan dalam mendeteksi kekeliruan dan pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris tentang pengaruh profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik dalam proses pemeriksaan laporan keuangan. Data diperoleh melalui kuisioner survei yang diisi oleh akuntan senior sampai partner yang bekerja di Kantor Akuntan Publik. Data dianalisis menggunakan regresi berganda. Hasil penelitian menunjukan bahwa profesionalisme, pengetahuan dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik dalam proses  memeriksaan laporan keuangan.
Kata kunciProfesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan,etika profesi dan pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik.

PENDAHULUAN
Semakin meluasnya kebutuhan jasa profesional akuntan publik sebagai pihak yang dianggap independen, menuntut profesi akuntan publik untuk meningkatkan kinerjanya agar dapat menghasilkan produk audit yang dapat diandalkan bagi pihak yang membutuhkan. Untuk dapat meningkatkan sikap profesionalisme dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan, hendaknya para akuntan publik memiliki pengetahuan audit yang memadai serta dilengkapi dengan pemahaman mengenai kode etik profesi.
Seorang akuntan publik dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan tidak semata–mata bekerja untuk kepentingan kliennya, melainkan juga untuk pihak lain yang berkepentingan terhadap laporan keuangan auditan. Untuk dapat mempertahankan kepercayaan dari klien dan dari para pemakai laporan keuangan lainnya, akuntan publik dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai.
FASB dalam Statement of Financial Accounting Concept No.2, menyatakan bahwa relevansi dan reliabilitas adalah dua kualitas utama yang membuat informasi akuntansi berguna untuk pembuatan keputusan. Untuk dapat mencapai kualitas relevan dan reliabel maka laporan keuangan perlu diaudit oleh akuntan publik untuk memberikan jaminan kepada pemakai bahwa laporan keuangan tersebut telah disusun sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku di Indonesia.
Profesionalisme telah menjadi isu yang kritis untuk profesi akuntan karena dapat menggambarkan kinerja akuntan tersebut. Gambaran terhadap profesionalisme dalam profesi akuntan publik seperti yang dikemukakan oleh Hastuti dkk(2003) dicerminkan melalui lima dimensi, yaitu pengabdian pada profesi, kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap profesi dan hubungan dengan rekan seprofesi.
Selain menjadi seorang profesional yang memiliki sikap profesionalisme, akuntan publik juga harus memiliki pengetahuan yang memadai dalam profesinya untuk mendukung pekerjaannya dalam melakukan setiap pemeriksaan. Setiap akuntan publik juga diharapkan memegang teguh etika profesi yang sudah ditetapkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), agar situasi penuh persaingan tidak sehat dapat dihindarkan. Selain itu, dalam perencanaan audit, akuntan publik harus mempertimbangkan masalah penetapan tingkat risiko pengendalian yang direncanakan dan pertimbangan awal tingkat materialitas untuk pencapaian tujuan audit.
Penelitian ini merupakan pengembangan penelitian yang dilakukan oleh Hastuti dkk(2003). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada (1) obyek penelitian, yaitu Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ada di Jakarta. Dengan mengambil KAP di Jakarta sebagai obyek penelitian diharapkan dapat merepresentasikan KAP di Indonesia karena sebagian besar KAP big 4 dan KAP non big 4 berada di Jakarta; (2) penambahan variabel independen, yaitu pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan yang diambil dari penelitian Sularso dan Na’im (1999), dan etika profesi yang diambil dari penelitian Murtanto dan Marini (1999). Akuntan yang lebih berpengalaman akan bertambah pengetahuannya dalam melakukan proses audit khususnya dalam memberikan pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan. Selain pengetahuan, akuntan juga dituntut etika dalam profesinya sehingga pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan diberikan. Sewajarnya sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin membuktikan secara empiris pengaruh profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan.
RUMUSAN MASALAH
            Bagaimana pengaruh profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan secara empiris?
HIPOTESIS
H1: Profesionalisme berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan.
H2: Pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan.
H3: Etika profesi berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam
proses audit laporan keuangan.
METODE PENELITIAN
Obyek penelitian yang diambil adalah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang terdaftar pada Direktori Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) 2008 di wilayah Jakarta dengan akuntan publik yang bekerja di KAP dijadikan sebagai responden. Para akuntan publik tersebut harus memiliki pengalaman bekerja minimal dua tahun, memiliki jenjang pendidikan minimal S1 dan posisi minimal sebagai akuntan publik senior, untuk tujuan memperoleh responden yang memiliki pengalaman dalam menentukan tingkat materialitas.
Metoda sampling yang digunakan adalah convenience sampling, yaitu pemilihan sampel berdasarkan kemudahan, sehingga penulis mempunyai kebebasan untuk memilih sampel yang paling cepat dan mudah. Data dikumpulkan melalui survai kuisioner yang dikirmkan kepada responden baik secara langsung atau melalui contact person. Jumlah kuisioner yang dikirimkan kepada responden sebanyak dua ratus, kuisioner yang direspon sebanyak seratus lima puluh.
Profesionalisme
Profesionalisme merupakan sikap seseorang profesionalisme terdiri dari dua puluh empat item instrument, seperti yang pernah digunakan oleh Hastuti dkk. (2003), yang diukur dengan menggunakan tujuh poin skala likert untuk mengukur tingkat profesionalisme akuntan publik.
Pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan
Sularso dan Na’im (1999) menyatakan akuntan yang memiliki pengetahuan dan keahlian secara profesional dapat meningkatkan pengetahuan tentang sebab dan konsekuensi kekeliruan dalam suatu siklus akuntansi. Variabel pengetahuan akuntan publik ini diukur dengan menggunakan sembilan belas item instrumen untuk mendeteksi macam–macam kekeliruan yang terjadi dalam siklus penjualan, piutang dan penerimaan kas. Pengukuran variabel ini dilakukan dengan angka 1 dan 0, poin 1 diberikan jika jawaban responden sesuai dengan harapan penulis dan poin 0 diberikan jika jawaban responden tidak sesuai dengan harapan penulis.
Instrumen untuk mengukur variabel ini pernah digunakan oleh Sularso dan Na’im (1999) dan Fahmi (2002).

Etika Profesi
Etika profesi yang dimaksud pada penelitian ini adalah Kode Etik Akuntan Indonesia, yaitu norma perilaku yang mengatur hubungan antara akuntan publik dengan kliennya, antara akuntan publik dengan rekan sejawatnya dan antara profesi dengan masyarakat. Etika profesi terdiri dari lima dimensi yaitu kepribadian, kecakapan profesional, tangung jawab, pelaksanaan kode etik, penafsiran dan penyempurnaan kode etik.
Terdapat delapan belas item instrumen yang digunakan untuk mengukur etika profesi dengan tujuh poin skala likert, seperti yang pernah digunakan oleh Murtanto dan Marini (2003).
Materialitas
Materialitas adalah besarnya penghilangan atau salah saji informasi akuntansi yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, yang dapat mempengaruhi pertimbangan pihak yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi tersebut (Mulyadi 2002:158). Item instrumen yang digunakan sebanyak delapan belas pernyataan dengan tujuh poin skala likert, seperti yang pernah digunakan oleh Hastuti dkk(2003).
Alat analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah multiple regression analysisdengan model persamaan sebagai berikut:
Mat= β0+β1Prof+β2PAK+β3EP+β4LM+ β5Po+β6Pd+ β7G+ β8Um+ε (1)
Keterangan:
1) Mat: Materialitas; 2) Prof: Profesionalisme; 3) PAK: Pengetahuan akuntan publik
dalam mendeteksi kekeliruan; 4) EP: Etika profesi; LM: 5) Lama Kerja; 6) Po: Posisi; 7) Pd:
Pendidikan; 8) G: Gender; Um: Umur; ε= error term.


PEMBAHASAN
Dalam pengujian hipotesis, penelitian memasukan variabel karakteristik responden seperti lama bekerja di KAP, jabatan pekerjaan,tingkat pendidikan, gender dan umur yang merupakan variabel kontrol. Tujuan memasukan variabel kontrol adalah mengendalikan hasil penelitian agar tidak dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik responden.
Statistik deskriptif dapat dilihat dalam Tabel 2 dan hasil pengujian hipotesis dapat dilihat dalam Tabel 3.
Tabel 3. Profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas
Hasil statistik deskriptif menunjukan bahwa rata-rata responden memberikan nilai pada variabel profesionalisme sebesar 5,420, pengetahuan akuntan publik sebesar 0,865, etika profesi sebesar 6,004, pertimbangan tingkat materialitas sebesar 5,327. Sedangkan untuk deviasi standar profesionalisme sebesar 0,755, pengetahuan akuntan publik sebesar 0,179, etika profesi sebesar 0,767, pertimbangan tingkat materialitas sebesar 0,569. Nilai minimum dan nilai maksimum yang diberikan responden untuk variabel profesionalisme sebesar 3,05 sampai dengan 7, pengetahuan akuntan publik sebesar 0,24 sampai dengan 1, etika profesi sebesar 3,29 sampai dengan 7, pertimbangan tingkat materialitas sebesar 3,44 sampai dengan 6,81.
Sebelum dilakukan pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik untuk menguji pemenuhan syarat regresi. Hasil uji asumsi klasik menunjukan bahwa semua asumsi terpenuhi yang dapat dilihat pada Tabel 3. Selain uji asumsi klasik, model regresi yang diajukan memenuhi kelayakan model terlihat dari nilai F8,136 sebesar 7,647 denganp-value0,000, artinya model regresi merupakan model yang baik guna dipakai dalam enyederhanaan dunia nyata.
Hasil pengujian hipotesis satu terlihat pada koefisien profesionalisme yang bernilai positif (0,231) dan signifikan pada p-value di bawah 0,05 (p=0,004) yang terlihat pada Tabel 3 sehingga hipotesis satu terbukti. Hasil pengujian hipotesis satu menunjukkan bahwa tingkat profesionalisme berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Terbuktinya hipotesis satu konsisten dengan hasil penelitian Hastuti dkk. (2003) yang memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi profesionalisme akuntan publik semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya.
Hasil pengujian hipotesis dua terlihat pada koefisien pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan yang bernilai positif (0,613) dan signifikan pada p-value di bawah 0,05 (p=0,01) yang terlihat pada Tabel 3 sehingga hipotesis dua terbukti. Hasil pengujian hipotesis dua menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas.
Terbuktinya hipotesis dua konsisten dengan hasil penelitian Noviyani dan Bandi (2002) yang memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya.
Hasil pengujian hipotesis tiga terlihat pada koefisien etika profesi yang bernilai positif (0,233) dan signifikan pada p-value di bawah 0,05 (p=0,002) yang terlihat pada Tabel 3 sehingga hipotesis tiga terbukti. Hasil pengujian hipotesis tiga menunjukkan bahwa etika profesi berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Terbuktinya hipotesis tiga konsisten dengan hasil penelitian Agoes (2004) yang memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi akuntan publik metaati kode etik semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya.
Berdasarkan Tabel 3, hasil penelitian ini tidak terpengaruh oleh karakteristik dari responden, yaitu lama kerja dan posisi dalam Kantor Akuntan Publik, tingkat pendidikan,gender dan umur. Terbuktinya hipotesis satu, dua dan tiga tidak terpengaruh oleh karakterisitik-karakteristik tersebut.
KESIMPULAN
Hasil penelitian ini mendukung semua hipotesis dan konsisten dengan penelitian Hastuti dkk. (2003). Hasil temuan ini mengindikasikan bahwa profesionalisme, pengetahuan auditor dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan. Semakin tinggi tingkat profesionalisme akuntan publik, pengetahuannya dalam mendeteksi kekeliruan dan ketaatannya akan kode etik semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya dalam melaksanakan audit laporan keuangan.
Hasil penelitian dapat memberikan kontribusi bagi Kantor Akuntan Publik dalam meningkatkan kinerja KAP secara keseluruhan dengan meningkatkan profesionalisme akuntan publik, memberikan pengetahuan yang memadai bagi akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan meningkatkan rasa kepatuhan terhadap etika profesi dalam setiap pelaksanaan proses audit atas laporan keuangan sehingga dapat dihasilkan laporan keuangan auditan yang berkualitas. Bagi akuntan publik, menjadi sumber tambahan informasi bagi pertimbangan tingkat materialitas dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan klien, sehingga dapat meningkatkan prestasi dan kualitas audit serta dapat menambah pengetahuan serta pengalaman akuntan publik tersebut dan meningkatkan rasa kepatuhan terhadap etika profesi sebagai seorang akuntan publik.
KETERBATASAN PENELITIAN
Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan yang perlu diperhatikan untuk penelitian berikutnya, yaitu penggunaan kuisioner dalam pengumpulan data mengenai pengaruh profesionalisme, pengetahuan auditor dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan mungkin akan berbeda apabila data diperoleh melalui penyampaian tatap muka langsung terhadap responden.
Kedua, penelitian ini hanya menguji pengaruh profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan. Terakhir, pemilihan sampel dengan menggunakan teknik convinience sampling karena kemudahan dalam mendapatkan sampel sehingga kurang merepresentasikan populasi. Selain itu, pemilihan sampel yang hanya berlokasi di Jakarta mudah dijangkau kemungkinan akan memberikan kesimpulan yang tidak dapat  digeneralisasi untuk lokasi lainnya. Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya adalah (1) menyebarkan kuisioner dengan metoda wawancara atau terlibat tatap muka langsung dengan responden; (2) variabel penelitian dapat dikembangkan dengan menambah variabel lain mengenai kualitas audit, pengalaman akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan untuk menunjukkan apakah terdapat pengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas dan risiko audit atau bisa melakukan uji beda dengan menggunakan sampel KAP Big Four dan Non Big Four; dan (3) menambah jumlah sampel dan memperluas lokasi pengambilan sampel tidak hanya di Jakarta saja.

DAFTAR PUSTAKA
Agoes, S. (2004). Auditing, Pemeriksaan Akuntan oleh Kantor Akuntan Publik. Jakarta: LPFE-UI.
Arens, A.A., RJ. Elder, M.S. Beasley. (2005). Auditing and Assurance Services, an Intergrated Approach, Prentice Hall, Pearson.
Fahmi, M. (2000). Analisis Pengaruh Pengalaman Akuntan pada Pengetahuan dalam Mendeteksi Kekeliruan. Skripsi. Jakarta: Trisakti School of Management.
Hastuti, T.D., S.L. Indriarto dan C. Susilawati. (2003). Hubungan antara Profesionalisme dengan Pertimbangan Tingkat Materialitas dalam Proses Pengauditan Laporan Keuangan. Prosiding Simposium Nasional Akuntansi VI, Oktober, hlm.1206–1220.
Institut Akuntan Publik Indonesia. (2008). Directory 2008 Kantor Akuntan Publik dan Akuntan Publik. Jakarta.
Lekatompessy, J.E. (2003). Hubungan Profesionalisme dengan konsekuensinya: Komitmen Organisasional, Kepuasan Kerja, Prestasi Kerja dan Keinginan Berpindah (StudiJurnal Bisnis dan Akuntansi, Vol.5, No.1,April, hlm.69–84.
Mulyadi. (2002). Auditing. Jakarta: Salemba Empat.
Murtanto dan Marini. (2003). Persepsi Akuntan Pria dan Akuntan Wanita serta Mahasiswa dan Mahasiswi Akuntansi terhadap Etika Bisnis dan Etika Profesi Akuntan,Prosiding Simposium Nasional Akuntansi VI, Oktober, hlm.790–805.
Noviyani, P. dan Bandi. (2002). Pengaruh Pengalaman dan Penelitian terhadap Struktur Pengetahuan Auditor tentang Kekeliruan. Prosiding Simposium Nasional Akuntansi V, September,hlm.481–488.
Sularso, S., dan Ainun N. (1999). Analisis Pengaruh Pengalaman Akuntan pada Pengetahuan dan Penggunaan Intuisi dalam Mendeteksi Kekeliruan. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia Vol.2, No.2, Juli, hlm.154–172.
source http://kristigayatri.blogspot.com


Rabu, 12 November 2014

TUGAS SOFTSKILL MINGGU KE 1

Judul                  NAMA KELOMPOK : KECE BALA-BALA
RO                      ROSELINA ADE ELFANNY (26211463)
DHY                   DHYAN DWI DESYANTI PUTRI (22211003)

Sinopsis                          :

Edisi baru Etika Akuntansi telah secara komprehensif diperbarui untuk menghadapi perubahan signifikan dalam profesi akuntansi sejak tahun 2002. Penulis secara sistematis mengeksplorasi berbagai masalah baru etika yang muncul sebagai akibat dari perkembangan terakhir, termasuk krisis keuangan tahun 2008.
·       Menyoroti perdebatan atas penggunaan akuntansi dengan nilai wajar dan prinsip-prinsipnya dibandingkan aturan berbasis standar
·        Menawarkan gambaran yang komprehensif tentang etika dalam akuntansi, serta pemeriksaan dan rekomendasi untuk menyelesaikan krisis terkini di bidang ini
·        Menyelidiki sifat dan tujuan akuntansi
·  Menggunakan contoh-contoh konkret dan studi kasus, termasuk situasi saat ini
·     Memeriksa tanggung jawab etis akuntan individual maupun perusahaan akuntansi

JUDUL                                   : Accounting Ethics, 2nd Edition
PENGARANG           :  Ronald Duska, Brenda Shay Duska, Julie Anne 



Minggu, 05 Oktober 2014

SINOPSIS ETIKA PROFESI AKUNTANSI


            Kegagalan dan keruntuhan kantor akuntan publik (KAP),Enron, Arthur Anderson, dan Worldcom, memicu penyusunan U.S,Sarbanes-Oxley Act (SOA) 2002, serta mendorong informasi akuntanbilitas dan tata kelola, di perusahaan Maupin bagi profesi akuntansi. Hal ini membuat perubahan secra dramatis dalam harapan/ekspektasi terhadap perilaku bisnis dan akuntan professional. Buku etika binis dan profesi ini mencakup topic-topik krisis kredibilitas pelaporan,pengambilan keputusan etis(EDM) dan SOX,Demikian jugan, pengembangan proses Etika manajemen resiko, strategi untuk menghadapi dan strategi pelaporan kepada pemangku kepentingan,serta strategi untuk memastikan perilaku etis di tempat kerja dan selama manajemen krisis.
            Dengan cakupan-cakupan materi tersebut, buku ini dapat dijadikan panduan bagi para direktur, eksekutif , dan akuntan profesionaldalam akuntanbilitas dan tata kelola pasaca-Enron/penyusunan SOX 2002, Serta pada pengambilan keputusan yang tepat,perilaku,dan etika manajemen risiko di era baru. Singkatnya buku ini memeriksa latar belakang dan sifat era-dukungan pemangku kepentingan baru terhadap akuntanbilitas perusahaan dan professional, serta tata kelola dan memberikan wawasan ke dalam pengembangan pola suara perilaku dan bagian dari direktur, eksekutif, dan akuntan.
            Edisi ini diperbarui dengan kontribusi dari rekan penulis yang baru, peningkatan pembahasan materi di beberapa bab, serta tidak kurang dari 2 bab dan 32 kasus diskusi mengenai permasalahan etika yang baru. Paduan antarateks, bacaan, dan kasus-kasus dapat digunakan  sebgai buku yang berdiri sendiri dalam kursus-kursus bisnis dan/atau etika proferi atau dalam tata kelola,sehingga sangat berguna untuk belajar mandirimaupun sebagai tambahan untuk strategi tradisional ,tata kelola atau teks akuntansi untuk menyediakan akses pada berbagai dilemma dunia nyata yang menarik.

Sumber : buku etika profesi bisnis dan profesi. Pengarang : Leonard J.H And Paul Dunn

 NAMA KELOMPOK : “KECE BALA-BALA”
NAMA :  Dhyan Dwi Desyanti Putri (22211003)

                 Roselina Ade Elfanny (26211463)  
kelas : 4eb13

Kamis, 07 Agustus 2014

The Supplier Selection Decision

Keputusan untuk menempatkan sejumlah volume bisnis dengan supplier seharusnya selalu didasarkan pada seperangkat criteria yang masuk akal. Seni dari pembelian barang dan manajemen supply adalah untuk membuat alasan dibelakang keputusan tersebut menjadi memungkinkan. Biasanya, analisis dari kemampuan supplier adalah untuk memenuhi kualitas, kuantitas, pengiriman, harga/biaya, dan tujuan pelayanan melandasi keputusan tersebut. Beberapa atribut penting supplier yang berhubungan untuk criteria utama mungkin meliputi sejarah masa lalu, kekuatan fasilitas dan teknis, status keuangan, organisasi dan manajemen, reputasi, system, penyesuaian procedural, komunikasi, hubungan buruh, dan lokasi.

Decision Tree

Keputusan pemilihan supplier dapat dilihat sebagai pembuatan keputusan dibawah ketidakpastian dan dapat direpresentasikan dengan pohon keputusan. Untuk menggunakan pohon keputusan secara efektif, pembeli harus mengidentifikasi opsi dan kriteria untuk evaluasi dan menaksir kemungkinan sukses dan gagal. Pohon sederhana dapat diaplikasikan pada pembelian one-time tanpa ekspektasi adanya pembelian lagi.

Identifying Potential Sources

Mengidentifikasi sources yang potensial adalah key driver dari kesuksesan atau kegagalan dari perspektif kinerja. Penelitian dalam pembuatan keputusan dan pemecahan masalah mengindikasikan bahwa kesempatan mencapai sebuah keputusan optimal tergantung pada sebagian besar dari kemampuan pembuat keputusan untuk mengeneralisasi alternatif.

Information Sources

Pengetahuan dari sources adalah kualifikasi penting dari berbagai pembeli efektif. Sources dapat dicari dengan:

  • Online sources: Internet dan WWW menyediakan pertumbuhan yang cepat dan selalu merubah bentuk informasi dari professional supply. Tantangan untuk banyak pembeli adalah bukan mencari informasi, tapi mengidentifikasi, sorting, menganalisa, dan menggunakan informasi yang relevan.
  • Catalog: Pengelolaan pembelian dan departemen supply harus memiliki catalog dari sources yang diketahui dari supply, menutupi material yang paling penting yang membuat perusahaan tertarik.
  • Trade journal: Trede journal juga menjadi sumber yang bernilai dari informasi supplier yang potensial. Daftar publikasi, tentu saja, sangat panjang, dan item individual di dalamnya sangat merubah nilai.
  • Trade directories: Trade directories adalah sumber lain yang berguna dari informasi. Mereka sangat luas dalam akurasinya dan penggunaannya, dan kepedulian menjadi dilatih dalam menggunakannya.
  • Sales representative: Sales representative mungkin menjadi salah satu sumber informasi berharag yang tersedia, dengan refrensi untuk sumber supply, tipe produk, dan informasi perdagangan secara umum.
  • Supplier and Commodity Database: Informasi dari berbagai sumber, jika berharga, seharusnya ditangkap. Sebagai contoh, index catalog membuat hal ini mudah untuk mengakses catalog yang dibutuhkan.
  • Visits to Suppliers: Beberapa manajer supply merasa bahwa mengunjungi supplier lebih berguna ketika mereka sulit untuk berdiskusi.
  • Samples: dalam tambahan untuk bertanya biasa dan sebuah kunjungan pabrik, sampel produk dari supplier dapat dicoba.
  • Colleagues: Seringkali rekan bisnis internal dapat menjadi sumber informasi berharga tentang sumber potensial dari supply.
  • References: seringkali pembeli akan memasukkan permintaan referensi dalam RFQ, RFP, atau RFB. Untuk mendapatkan informasi yang paling berguna, pekerjaan pewawancara untuk mengelola parameter dari wawancara.
The Evaluation of Potential Sources

Evaluasi dari sumber potensial, biasanya, mencoba menjawab dua pertanyaan kunci:

  1. Apakah kemampuan supplieritu dalam mengirim kebutuhan pembeli secara memuaskan secara jangka pendek atau jangka panjang?
  2. Apakah motivasi supplier itu dalam mengirimkan kebutuhan sesuai dengan yang diharapkan pembeli dalam jangka panjang atau jangka pendek?
Supplier Evaluation Methods

Metode untuk mengevaluasi supplier dibagi menjadi dua:

  1. Informal dan Semiformal Evaluating and Rating. Evaluasi informal meliputi menaksir supplier dari internal dan darimana saja di dalam organisasi pembeli dimana kontak mengambil tempat. “How are things going with supplier X?” menjadi pertanyaan biasa yang dapat dan seharusnya ditanyakan oleh personil supply ketika di dalam kontak dengan yang lain di dalam organisasi mereka.
  2. Formal Supplier Evalution and Rating. Menemani tren dari supply berdasarkan rasionalisasi, strategic sourcing, dan hubungan dekat dengan supplier kunci adalah pertumbuhan pengalaman di dalam rating kinerja supplier. Seringkali, perbaikan berkelanjutan terekam terus dengan banyak faktor tradisional seperti kualitas, kuantitas, pengiriman, dan harga.
Linking Sourcing With Strategy

Dari berbagai sumber informasi, pembeli mampu untuk membuat daftar dari supplier yang tersedia dari item yang diperlukan. Tingkat pertama dari analisis adalah mencari supplier mana yang mungkin mampu untuk memenuhi kebutuhan pembeli. Tingkat kedua adalah menentukan mana supplier yang dianggap manajer supply dan tim sourcing serius untuk menjadi source.
Strategi ini harus memikirkan beberapa hal seperti apakah perusahaan menggunakan single atau multiple sourcing, masalah manufaktur dengan distributor, lokasi geografi dari sources, ukuran supplier, dan kepedulian sosial, politik, dan lingkungan.

Joint Purchasing with Supplier

Jika organisasi pembeli memiliki lebih banyak leverage pada pasar dan proses pembelian yang lebih efisien, ini mungkin menjadi keuntungan untuk membeli kebutuhan tertentu untuk supplier. Meskipun pembeli akan membuat banyak tambahan beban, hal ini akan menjadi keuntungan bersih untuk masing-masing pihak dalam transaksi dan perjanjian yang sama tentang shared cost saving.

Purchasing for Company Personnel

Masalah lain yang dihadapi oleh kebanyakan department supply adalah memutuskan untuk tingkat apa yang dibenarkan dalam menggunakan fasilitas untuk memperoleh merchandise bagi karyawan organisasi atau untuk eksekutif. Banyak perusahaan tidak hanya menjual merchandisenya sendiri untuk karyawan mereka pada diskon yang substantial dan juga mengizinkan mereka untuk membeli pada biaya berbagai merchandise dibeli oleh perusahaan untuk mereka gunakan sendiri.

Strategy Development

Penilaian risiko adalah langkah kunci dalam pembangunan strategi. Risiko supply dapat dinilai dalam beberapa cara. Pareto analysis membandingkan volume dollar untuk variabel seperti persen dari supplier, persen persediaan, dan sejumlah order, pembangunan strategi yang focus pada high dollar purchases. Portfolio analysis biasanya meliputi supply risiko pasar dalam menilai dan memfokuskan perhatian pada kemampuan meningkatkan nilai.



America’s lost oomph

The country’s potential growth rate is barely half what it was two decades ago. Here’s how to raise it

BACK in the mid-1990s, America’s economic prospects suddenly brightened. Productivity soared. Immigrants and foreign capital flocked to take advantage of what was quickly dubbed the “New Economy”. The jobless rate fell to 4%, yet inflation remained low. All this led economists to conclude that America’s potential rate of growth—the speed at which the economy can expand while keeping unemployment steady and inflation stable—had risen sharply from its decades-long average of 3%, to 3.5% or even higher.
Sadly, the New Economy is no more. The recovery from the recession of 2008-09 has been the weakest of the post-war era, and evidence is mounting that America’s potential growth rate has plummeted. Its two big determinants, the supply of workers and the rise in their productivity, have both fallen short. Performance in the past year has been particularly feeble: America’s labour force has not grown at all and output per hour worked has fallen. The IMF recently cut its estimate of the country’s potential rate of growth to 2%. Other economists put it as low as 1.75%.

So far, the slide in potential has had little practical impact. Because the recession was so deep and the recovery so weak, the economy is still operating below its capacity. But in the long term a halving of the economic speed limit would have grim consequences. Living standards would rise more slowly, tax revenues would be lower and the burden of paying today’s debts heavier.
Solving the short-term problem means boosting demand, so the Federal Reserve should keep interest rates low. But to pep up long-term growth, America also needs to address the supply side. In particular, it needs more workers and faster increases in productivity.
The not-so-mysterious case of the disappearing worker
The number of working-age Americans rose by an average of 1.2% a year in the 1990s, and by a mere 0.4% in 2013. The proportion of them actually in the workforce has fallen from over 67% to less than 63%. The recession is partly to blame, because after years of joblessness some people have given up looking for work. That is one reason why boosting the recovery is important. The ageing of the baby-boomers is another reason. The number of people in their late 50s (when participation in the workforce starts to drop) and older is rising fast.
Both these vulnerabilities are exacerbated by a self-inflicted problem: policies that depress the supply of workers. Most damaging is America’s broken immigration system. Getting into the country has become much more difficult. The number of visas issued today for highly skilled people is a fraction of what it was in the 1990s, even as the number of unfilled vacancies for skilled workers soars. Deportations have surged and the southern border has become far harder to cross.
Obamacare, though good in other respects, tends to shrink the labour force because it helps people get health care without working. There is less to be said for the outdated social safety net, which manages both to be stingy and to discourage work. America spends a smaller proportion of its GDP than other rich countries on retraining the jobless and helping them find work. It has not raised the retirement age and it has allowed its disability-insurance system to become an ersatz welfare scheme. The number of workers on disability, hardly any of whom will work again, has doubled since 1997 to 9m. For once, Europe could teach America some labour-market lessons: thanks to welfare reforms, the proportion of Europeans in the workforce is now rising.
The mystery of the slump in productivity
In the long run, the most powerful way to boost growth is for workers to become more productive, as they did in the 1990s. But raising productivity is hard, and the recent slump puzzling. Innovation drives productivity growth, and a dizzying array of new developments, from “big data” to the “internet of things”, suggests that innovation is speeding up. Yet the growth in the average worker’s output per hour was slowing before the 2007 crisis and has fallen further since.
That may change, because it takes a while for firms to react to disruptive technologies. Computers started to spread in the 1980s but their impact did not show up in the data for more than a decade. The latest surge in innovation will also take a few years to translate into higher output per hour. The slow recovery from the recession may have lengthened this delay, by deterring many firms from investing in information technology. But here, too, politicians have made matters worse.
There is much America’s government could do to boost investment. It could, for instance, increase public spending on infrastructure. It could reduce the sky-high corporate tax rate which encourages firms—such as AbbVie, which is proposing to shift its base to Britain by buying Shire (see article)—to move abroad rather than invest at home. And it could start cutting the endless sprawl of job-destroying regulations that companies say is a worse problem even than taxes. It is doing none of these things.
The impact of a supply-side revolution, with immigration reform, an overhaul of disability and training schemes, infrastructure investment, deregulation and corporate-tax reform all high on the agenda would be gradual. But even the prospect would strengthen the recovery, by encouraging investment and deterring the Fed from raising interest rates too soon.
Thoughtful politicians have produced schemes for radical change in almost all of these areas, but their plans—like so much else—have fallen victim to America’s polarised politics. The Republicans stand in the way of loosening immigration rules, while Democrats fear that supply-side reforms are a plot to hurt the average Joe. Both sides hoover up cash from special interests keen to keep anticompetitive regulations in place. Barack Obama, the least business-friendly president for decades, has devoted far too little attention to the problem. So the odds rise that America’s economy will continue to lumber along at an underwhelming pace, and Americans will have no one to blame but their leaders.



Sabtu, 05 Juli 2014

SUARA KITA

Kenapa kita tidak boleh GOLPUT ?
ALASANNYA     : karena Negara Indonesia itu identik dengan Negara demokrasi dimana arti demokrasi itu sendiri adalah mendengarkan suara rakyat apabila kita melakukan golput sama saja kita tidak menjalankan system yang sudah berlaku Indonesia. Sebenarnya ada pro dan kontra terhadap golput. PRONYA adalah kita itu hidup di Negara demokrasi dimana kita harus terpusat dengan adanya undang-undang dasar dan hukum Negara. KONTRANYA mungkin karena adanya faktor ekonomi dan kurangnya rasa simpatik rakyat terhadap masalah politik dan Negara. Jadi bagi anak-anak muda jaman sekarang ayo kita bergerak untuk kemajuan bangsa dan Negara kita.. kita majukan Negara dengan mendukung agar system demokrasi Indonesia semakin di terapkan dan hukum di Negara semakin di tegakkan demi kemajuan bangsa dan Negara. Bila kita golput kita kehilangan satu suara untuk kemajuan bangsa dan Negara.. ayo kita pilih yang terbaik buat bangsa kita… ˄ˍ˄  WE CAN DO IT …..


Senin, 16 Juni 2014

Tugas 3 Bahasa Inggris Bisnis 2 : Something we should or shouldn't do and can or can't do

            Library
You are allowed to read the books in the library.
You are not allowed to bring home library books without the knowledge of board books in the library.
You are not expected to interfere with another person who was reading a book in the library.
You are expected to return the book in its place.

 Museum
You are allowed to look at the fossil in the museum.
You are not allowed to touch the objects existing history in the museum.
You are expected to abide by the rules that exist in the museum.
You are not expected to throw litter.

  Restaurant
You are allowed to use the facilities available in the restaurant.
You are not allowed to smoke in restaurants.
You are supposed order anything on the menu at the restaurant.
You are not supposed to leave the restaurant before paying.

Tram
You are allowed to use the gadgets in the tram.
You are not allowed to bring your pet.
You are expected to provide seating for pregnant women.
You are not expected to sit in the priority seats.

SWIMMING POOL
You are allowed to play with the kids and your family in the swimming pool.
You are not allowed to damage the existing public facilities in the swimming pool.
You are supposed maintain cleanliness in the swimming pool
You are not supposed to pick flowers in the garden.


Jumat, 02 Mei 2014

TUGAS 2 BAHASA INGGRIS BISNIS "ARTICLES"

            I.       In the following sentences supply the articles (a, an or the) if they are necessary. If no article is necessary, write Ø. 
    
1.     Jason’s father bought him a bicycle that he had wanted for his birthday.
2.     The statue of Liberty was a gift of friendship from Ø France to The United
States.
3.     Rita is studying an English and Ø math this semester.
4.     The judged asked a witness to tell the truth.
5.     A big books on the table are for my history class.
6.     When you go to the store, please buy a bottle of Ø chocolate milk and Ø dozen orange.
7.     There are only a seats left for Ø tonight’s musical at Ø University.
8.     What did you eat for Ø breakfast this morning ?
9.     Rita plays Ø violin and her sister plays a guitar.
10.   The chair that you are sitting is broken.

II. Fill in the blanks with the appropriate form of other. 

1.     This pen isn’t working. Please give me another .
2.     If you’re still thirsty, I’ll make another pot of coffee
  3.   This dictionary has a page missing. Please give me another. 
      4.  He doesn’t need those books. He needs the others.  
      5.  There are thirty people in the room. Twenty are from Latin America and the others are from otherscountries.
6.     Six people are in the store. Two were buying meat. Others was looking at magazines.Others was eating a candy bar. The others were walking around looking for more food.
7.     This glass of milk is sour. Another glass of milk is sour too.
8.     The army was practicing its drills. One group was doing artillery practice. Another was marching; another was at attention; and the other was practicing combat tactics.
9.     There are seven students from Japan. Others are from Iran, and the others are from others places.
10. We looked at cars today. The first two we far too expensive, but the other ones were reasonably priced.